BAB I
PENDAHULUAN
1.5.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang menjapai 17.508 pulau dengan luas lautnya sekitar 3,1 juta km2 Wilayah lautan yang luas tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, salah satunya adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters, 1994 dalam Suharsono, 1998).
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang ini pada umumnya hidup lebih dari 300 jenis karang, yang terdiri dari sekitar 200 jenis ikan dan berpuluh‐puluh jenis moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya (Dahuri, 2000). Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut. Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Terumbu karang (Coral Reef) adalah ekosistem khas daerah tropis yang pada dasarnya dibangun oleh hewan karang penghasil kerangka kapur (Scheleractinian). Bersama dengan ribuan spesies lain baik avertebrata, ikan, alga, maupun bakteri, hewan karang membentuk suatu hubungan fungsional yang penting untuk kelangsungan ekositem terumbu karang (Nontji, 1993). Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria. Hewan yang disebut sebgai karang (Coral) mencakup karang dari ordo Scleractinia dan sub kelas Octocoralia (Kelas Anthozon) maupun kelas Hydrozoa (Timotius, 2009).
1.5.2 Tujuan
Tujuan diadakannya praktikum ini antara lain :
1. Mempelajari ekosistem terumbu
2. Mempelajari dan menjelaskan organisme terumbu dalam ekosistem terumbu
3. Mempelajari fungsi organisme terumbu dalam ekosistem terumbu
4. Memahami jaring-jaring makanan yang berlangsung dalam ekosistem terumbu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.5.1 Terumbu Karang
Binatang karang adalah pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Binatang karang yang berukuran sangat kecil, disebut polip, yang dalam jumlah ribuan membentuk koloni yang dikenal sebagai karang (karang batu atau karang lunak). Dalam peristilahan ‘terumbu karang’, “karang” yang dimaksud adalah koral, sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu, sedangkan Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan koral. Di dalam terumbu karang, koral adalah insinyur ekosistemnya. Sebagai hewan yang menghasilkan kapur untuk kerangka tubuhnya,karang merupakan komponen yang terpenting dari ekosistem tersebut. Jadi Terumbu karang (coral reefs) merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di perairan dangkal yang jernih, hangat (lebih dari 22° C), memiliki kadar CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi, dan komunitasnya didominasi berbagai jenis hewan karang eras (Guilcher, 1988).
Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Sleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Meskipun karang ditemukan di seluruh lautn di dunia, baik di perairan kutub ataupun di perairan ugahari, seperti halnya daerah tropik, terumbu karang hanya berkembang di daerah tropik. Hal ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang yang berbeda, yang satu dinamakan hermatipik dan yang lain ahermatipik (Nybakken, 1992).
Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic coral) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic coral). Karena dapat membentuk bangunan karang hermatypic coral sering dikenal pula sebagai reef-building coral seperti pada jenis Scleractinia. Kemampuan hermatypic coral membentuk bangunan kapur tidak lepas dari proses hidup binatang ini. Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiose dengan sejenis alga berfotosintesis (zooxanthellae) yang hidup di jaringan-jaringan polyp karang tersebut. Hasil samping dari aktivitas fotosintesis ini adalah endapan kapur kalsium karbonat (CaCO3) yang membentuk struktur dan bangunan yang khas. Ciri ini yang digunakan untuk menentukan jenis dan spesies binatang karang (Romimohtarto dan Juwana, 2001).
Terumbu karang (Coral reef ) merupakan masyarakat organisme yang hidup didasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkan organisme–organisme yang dominan hidup disini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral ) sebagai individu organism atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef ) sebagai suatu ekosistem (Sorokin, 1993).
Terumbu karang (coral reef ) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin, 1993).
Terumbu karang (coral reef) merupakan masyarakat organism yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Sedangkang organism-organisme yang dominan hidup disini adalah binatang karang yang memiliki kerangka kapur, algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes, 1981).
Terumbu terbentuk dari endapan massif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (filum Cnidaria, kelas Anthozoa, bangsa Scleractina), alga berkapur dan organism-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken, 1992).
Pembentukan karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu karang terbagai atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu atau disebut hermatypic coral dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu atau ahermatypic coral. Kelompok hermatypic coral dalam prosesnya bersembiosis dengan zooxentellae dan membutuhkan sinar matahari untuk membentuk bangunan dari kapur yang dikenal dengan reef building corals, sedangkan kelompok kedua tidak dapat membentuk bangunan kapur sehingga dikenal dengan non-reef building corals yang secara normal hidupnya tidak tergantung pada sinar matahari (Veron, 1986).
2.5.2 Ekosistem Terumbu Karang
Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.
Selanjutnya Sumich (1992) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:
Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2
Fotosintesa oleh algae yang bersimbiose membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposist cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. Veron (1995) dan Wallace (1998) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Suharsono (1999) mencatat selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3°C di atas suhu normal.
Selain dari perubahan suhu, maka perubahan pada salinitas juga akan mempengaruhi terumbu karang. Hal ini sesuai dengan penjelasan McCook (1999) bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland run off) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang.
Meskipun beberapa karang dapat dijumpai dari lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25 m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10°C. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10 m dan suhu sekitar 25°C sampai 29°C. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans, 1984).
2.5.3 Tipe- Tipe Terumbu Karang Berdasarkan Jenisnya
Ada dua jenis terumbu karang yaitu :
1. Terumbu karang keras (seperti brain coral dan elkhorn coral) merupakan karang batu kapur yang keras yang membentuk terumbu karang. Karang batu ini menjadi pembentuk utama ekosistem terumbu karang. Walaupun terlihat sangat kuat dan kokoh, karang sebenarnya sangat rapuh, mudah hancur dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan.
2. Terumbu karang lunak (seperti sea fingers dan sea whips) tidak membentuk karang. Terdapat beberapa tipe terumbu karang yaitu terumbu karang yang tumbuh di sepanjang pantai di continental shelf yang biasa disebut sebagai fringing reef, terumbu karang yang tumbuh sejajar pantai tapi agak lebih jauh ke luar (biasanya dipisahkan oleh sebuah laguna) yang biasa disebut sebagai barrier reef dan terumbu karang yang menyerupai cincin di sekitar pulau vulkanik yang disebut coral atoll.
2.5.4 Tipe- Tipe Terumbu Karang Berdasarkan Bentuknya
Nybakken (1992) mengelompokkan terumbu karang menjadi tiga tipe umum yaitu :
• Terumbu karang tepi (Fringing reef/shore reef )
• Terumbu karang penghalang (Barrier reef)
• Terumbu karang cincin (atoll)
Diantara tiga struktur tersebut, terumbu karang yang paling umum dijumpai di perairan Indonesia adalah terumbu karang tepi (Suharsono, 1998). Penjelasan ketiga tipe terumbu karang sebagai berikut :
1. Terumbu karang tepi (fringing reef)
Berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40m. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhaan yang kurang baik bahkan banyak mati karena sering mengalami kekeringan dan banyak endapan yang datang dari darat (Suharsono, 1998).
2. Terumbu karang tipe penghalang (Barrief reef )
Terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai dan dipisahkan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 m). Umumnya memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar-putar seakan – akan merupakan penghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah The Greaat Barier reef yang berderet disebelah timur laut Australia dengan panjang 1.350 mil (Suharsono, 1998).
3) Terumbu karang cincin (atol)
Adalah terumbu karang yang bentuknya melingkar seperti cincin atau berbentuk oval, mengelilingi goba yang dalamnya 40-100 m. Atol yang terbesar di Indonesia adalah “Taka Bone Rate” yang terletak di laut Flores sebelah tenggara pulau Selayar, atol tersebut mempunyai luas 2850 km2 yang merupakan atol terbesar ketiga di dunia (Nontji, 1993).
2.5.5 Organisme Yang Berasosiasi Pada Ekosistem Terumbu Karang
Jenis biota yang berasosiasi merupakan kelompok biota yang khas penghuni daerah terumbu karang. Beberapa diantaranya bahkan jarang ditemukan pada ekosistem yang lain. Tatanan sistematika hidup organisme laut terbagi atas dua kelompok besar, yakni tanaman dan hewan. Beranekaragam jenis tumbuhan dan hewan yang melimpah dan bermacam-macam dapat ditemukan di dalam ekosistem terumbu karang. Jenis tumbuhan yang biasanya ditemukan hidup di daerah ekosistem terumbu karang adalah alga (rumput laut). Rumput laut yang banyak ditemukan di daerah terumbu karang adalah jenis selada laut (Ulva), Anggur laut (Caulerpa), yang termasuk ke dalam jenis alga hijau serta rumput laut Eucheuma dan jamur laut (Padina) yang termasuk ke dalam jenis alga coklat. Jenis hewan yang ada biasanya dari jenis sponge, hydra dan ubur-ubur, Anemon laut dan karang lunak, mollusca, crustacea, ikan karang, dan reptilia laut (Coremap, 2006).
Pola interaksi dari bermacam-macam jenis organisme yang ada di dalam ekosistem terumbu karang juga sangat bermacam-macam. Mulai dari pola interaksi mutualisme, komensalisme, parasitisme, predatorisme (grazing. Jenis hewan yang biasanya banyak ditemukan adalah dari filum Echinodermata, yaitu bintang laut, bintang ular, bulu babi, lilia laut dan teripang. Hewan Echinodermata dapat ditemui di hampir semua ekosistem, namun keanekaragaman yang paling tinggi terdapat pada ekosistem terumbu karang (Coremap, 2006).
Salah satu contoh dari pola interaksi mutualisme yang ada di daerah terumbu karang adalah ikan Giru dan Anemon laut. Masing-masing dari organisme tersebut mendapat keuntungan, ikan Giru mendapat perlindungan dari predator dengan bersembunyi di antara Anemon laut. Anemon laut mendapat keuntungan dalam hal pengadukan air, karena pergerakan aktif dari ikan Giru, nutrien yang ada di sekitar Anemon laut akan melayang-layang dan mudah untuk ditangkap (Coremap, 2006).
Kebanyakan jenis hewan yang beraosiasi dengan ekosistem terumbu karang adalah jenis-jenis hewan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satunya adalah dari jenis mollusca, yaitu tiram, siput, cumi-cumi, gurita, sotong, dan lain-lain. Hewan yang ada pada ekosistem terumbu yang baik biasanya akan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh melimpahnya nutrisi dan bahan makanan yang tersedia di dalam ekosistem terumbu karang (Coremap, 2006).
2.5.6 Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Keberadaan Ekosistem Terumbu
1. Cahaya matahari
Cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang, karena cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis. Kedalaman panetrasi sinar mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang. Intensitas dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut sangat penting dalam menentukan sebaran vertikal karang batu yang mengandungnya. Semakin dalam laut, semakin kurang intensitas cahaya yang didapat atau dicapai yang berarti semakin kecil produksi oksigen. Kedalaman laut maksimum untuk karang batu pembentuk terumbu karang adalah 45 meter. Lebih dari itu cahaya terlalu lemah untuk zooxanthella yang merupakan alga mikroskopik bersel tunggal dalam menghasilkan oksigen yang cukup bagi karang batu (Wells, 1956).
2. Kejernihan air
Karang batu hidup di bawah permukaan air sehingga untuk hidupnya memerlukan air laut yang bersih dari kotoran – kotoran. Hal tersebut untuk menghindari benda - benda yang terdapat di dalam air dapat menghalangi masuknya cahaya matahari yang diperlukan untuk hidup zooxanthella. Selain itu, endapan lumpur atau pasir yang terkandung di dalam air yang diendapkan oleh arus dapat mengakibatkan kematian pada terumbu karang (Karliansyah, 1988).
3. Kedalaman
Karang batu hidup subur pada kedalaman tidak lebih dari 40 meter (Molengraaff, 1929). Menurut Wells (1956) pertumbuhan paling subur berada di kedalaman kurang lebih 20 meter.
4. Suhu perairan
Suhu terendah dimana karang batu dapat hidup, yaitu 15oC, tetapi kebanyakan ditemukan pada suhu air diatas 18oC dan tumbuh sangat baik antara 25oC - 29oC. Suhu maksimum dimana terumbu karang masih hidup adalah 36oC. Menurut Kuenen ( Sukarno, 1982), suhu terbaik untuk pertumbuhan karang batu adalah 25oC - 31oC dan masih dapat hidup pada suhu 15oC, tetapi perkembangangbiakan, metabolism, dan pengapuran akan terganggu.
5. Salinitas
Salinitas Tingkat optimum salinitas untuk komunitas karang kira-kira 35 ppt, tetapi karang dapat bertahan hidup di atas kisaran salinitas antara 25 sampai 42 ppt, sebaliknya salinitas dengan konsentrasi yang tetap di bawah 20 ppt untuk waktu lebih dari 24 jam menyebabkan kematian pada koral dan sebagian besar fauna karang yang lain, sehingga kejadian kematian lebih cepat dapat terjadi pada tingkat salinitas yang terendah (Smith dan Buddemeier, 1992).
6. pH (Derajat Keasaman)
Keputusan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) (1988) dalam Edward (1996) menetapkan bahwa nilai kisaran ambang batas pH (derajat keasaman) yang baik bagi kehidupan biota laut berkisar diantara 6-9. Derajat keasaman (pH) adalah jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur keasaman. Biota–biota laut memiliki kisaran untuk hidup pada nilai pH tertentu (Nybakken, 1992).
Menurut Nontji (1993), air laut memiliki nilai pH yang relatif stabil dan biasanya berkisar antara 7.5 – 8,4. Perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibat langsung adalah kematian ikan, burayak, telur, dan lain-lainnya, serta mengurangi produktivitas primer. Akibat tidak langsung adalah perubahan toksisitas zat-zat yang ada dalam air, misalnya penurunan pH sebesar 1,5 dari nilai alami dapat memperbesar toksisitas NiCN sampai 1000 kali (Dinar, 2009).
2.5.7 Aktivitas Manusia Yang Ada di sekitar Ekosistem Terumbu Karang
Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 50.000 km 2 dan mempunyai kaenekaragaman jenis dan produktivitas primer yang tinggi. Namun dibalik potensi tersebut, aktivitas manusia dalam rangka pemanfaatan potensi sumberdaya alam didaerah pantai, baik secara langsung maupun tidak langsung sering merusak terumbu karang.
Menurut Suprihayono (2000) beberapa aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu :
1) Perikanan terumbu karang
Masalah perikanan merupakan bagian dari ekosistem bahkan keanekaragaman karang dapat mencerminkan keanekaragaman jenis ikan. Semakin beragam jenis terumbu karang akan semakin beraneka ragam pula jenis ikan yang hidup di ekosistem tersebut. Oleh karena itu masalah perikanan tidak bisa diabaikan pada pengelolaan ekosistem terumbu karang. Dengan meningkatnya jumlah penduduk saaat ini maka jumlah aktivitas penangkapan ikan di ekosistem terumbu karang juga meningkat. Apabila hal ini dilakukan secara intensif, maka kondisi ini memungkinkan terjadinya penurunan stock ikan di ekosistem terumbu karang. Keadaan ini akan memakan waktu lama untuk bisa pulih kembali. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis target spesies, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan yang lainnnya secara tidak langsung dapat merusak karang.
2) Aktivitas Pariwisata Bahari
Untuk menjaga kelestarian potensi sumberdaya hayati daerah-daerah wisata bahari, maka di Indonesia telah dibentuk suatu kerja sama pengembangan kepariwisataan (Tourism Development Coorporation) yang modalnya berasal dari dari para investor lokal, pemerintah lokal dan regional dan masyarakat Badan kerjasama pariwisata dapat dijumpai di Nusa Dua Bali dan Manado. Adapun tugas badan ini diantaranya adalah
• Menjaga daya tarik masyarakat terhadap pengembangan pariwisata .
• Membantu pengusaha menempati kebijaksanaan– pemerintah
• Pengadaaan dana pinjaman untuk pembangunan infra struktur.
• Pemanfaatan taman laut untuk tujuan wisata pada umumnya diperoleh melalui agen-agen pariwisata dan scuba diving .Namun kedua agen atau arganisasi tersebut lebih mementingkan profit daripada harapan konservasi yaitu pelestarian sumberdaya alam laut. Sebagai akibatnya aktivitas mereka sering menimbulkan hal hal yang tidak diinginakan atau bertentangan dengan nilai estetika atau carrying capacity lingkungan laut.
3) Aktivitas Pembangunan Daratan
Aktivitas pembangunan di daratan sangat menentukan baik buruknya kesehatan terumbu karang. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah pantai akan menimbulkan dampak terhadap ekosistem terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan, intensifikasi pertanian, bersama-saa dengan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang jelek umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang.
4) Aktivitas Pembangunan di Laut
Aktivitas pembangunan di laut, seperti pembangunan darmaga pelabuhan, pengeboran minyak, penambangan karang, pengambilan pasir dan pengambilan karang dan kerang untuk cinderamata secara langsung maupun tidak langsung akan memebahayakan kehidupan terumbu karang. Konstruksi pier dan pengerukan alur pelayanan menaikkan kekeruhan demikian juga dengan eksploitasi dan produksi minyak lepas pantai, selain itu tumpahan minyak tanker juga membahayakan terumbu karang seperti yang terjadi di jalur lintasan international.
BAB III
MATERI DAN METODE
3.5.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum Lapangan
Hari / Tanggal : Sabtu, 21 Mei 2011
Pukul : 07.00 – 13.00 WIB
Tempat : Pantai Teluk Awur Jepara
Praktikum Laboratorium
Hari / Tanggal : Sabtu, 21 Mei 2011
Pukul : 16.00 – 20.00
Tempat : Laboratorium Basah Kampus Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro Teluk Awur, Jepara
3.5.2 Alat
3.5.2.1 Alat
a. Skin dive
b. Transek 1x1 m
c. Alat Tulis
d. Plastik, Sabak + Pensil
e. Ember
f. Sekop Kecil
g. Light Microscope
h. Tissue Pembersih
i. Kamera Digital
3.5.2.2 Bahan
Ekosistem terumbu yang ada di Perairan Teluk Awur
3.5.3 Cara Kerja
a. Lakukan “Rapid Assesment“ unutk menentukan lokasi ekosistem terumbu karang
b. Catat kedalaman ( pada saat pasang naik dan pasan surut)
c. Letakkan transek dan catat apa saja yang terdapat dalam subtransek tersebut ( Famili karang, invertebrate lain, ikan, substrat)
d. Amati dan gambar jenis biota pada tiap-tiap subtransek
e. Ambil substrat dengan kedalaman 10 cm pada tiap-tiap subtransek ( khusus pada substrat lunak atau berpasir)
f. Ayak substrat dengan air untuk mendapatkan biota yang hidup
g. Catat aktivitas manusia di sekitar ekosisterm tersebut
h. Catat parameter biologi (pH, salinitas, suhu) dan oseanografi (pasut)
i. Foto setiap biota yang ditemukan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.5.1 Hasil
Berikut ini adalah hasil yang kami temukan yaitu berupa terumbu yang terdapat pada transek 1x1 yang telah kami buat. Hasil tersebut kami dapat setelah kami berada sampai sampai ± 100 m dari bibir pantai ke tengah, berikut adalah hasilnya.
A1
A2
A3
A4
A8
A7
A6
A5
A9
A10
A11
A12
A16
A15
A14
A13
Keterangan :
S = Sand
DCA = Death Coral Algae
Dari penelitian yang kita lakukan pada ekosistem terumbu tersebut Genus karang yang terdapat pada saaat melakukan sampling ialah Coralite Porites, Pacillopora dan juga Favia. Dan tidak ditemui biota yang diterdapat pada ekosistem terumbu karang tersebut. Sementara substratnya adalah lumpur berpasir.
4.5.2 Pembahasan
Adapun genus karang yang didapat saat sampling atau penelitian terhadap ekosistem terumbu karang tersebut ialah:
4.5.2.1 Coralite Porites
Ciri dari karang bergenus Porites ini ialah mirip dengan genus Montipora, yaitu bentuk koloni bervariasi, ada yang submasif, laminar, menempel ataupun bercabang, ukuran koralit umumnya kecil. septa umumnya memiliki dua lingkaran dengan bagian ujung (gigi) muncul keluar.apabila disentuh maka akan terasa tajam, Tidak memiliki columella, dinding koralit dan coenosteum keropos, tentakel umumnya keluar pada malam hari. Namun memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan antara Porites dengan Montipora ialah bahwa Porites memiliki bentuk pertumbuhan yang lebih beragam, koralit pada Porites lebih besar, kokoh dan tidak ada elaborate thecal (perpanjangan dinding koralit). Genus Montipora mempunyai dua tipe coenosteum, yaitu reticulum papillae dan tuberculae.
Selain itu, Porites memiliki koralit yang umumnya selalu terlihat septanya dan juga pada pengamatan bawah air, struktur internal pada koralit karang genus Porites lebih jelas terlihat. Bentuk koloni ada yang flat (foliaceous atau encrusting), masif atau bercabang, Koloni yang masif berbentuk bulat atau ataupun setengah bulat. Koloni masif yang terkecil akan terlihat berbentuk seperti helm atau dome – shaped, dengan diameter dapat mencapai lebih dari 5 m, Koralit berukuran kecil, cekung kedalam ( terbenam ) pada badan koloni dengan lebar Calice kurang dari 2 mm.
Sementara Montipora hanya memiliki perpanjangan gigi septa yang menonjol keluar sehingga terasa runcing dan kasar bila tersentuh dan sebagian besar Montipora memiliki coenosteum yang lebar, sementara Porites tidak memiliki coenosteum.
Dan berikut merupakan taksonomi dari genus Porites ialah:
Kingdom : Animalia
Phylum : Cnidaria
Class : Anthozoa
Order : Scleractinia
Suborder : Fungiina
Family : Poritidae
Genus : Porites (Veron, 1986).
4.5.2.2 Pocillapora
Berikut karakteristik bentuk rangka kapur genus Pocillopora ini antara lain ialah seperti berikut cenderung berkoloni umumnya berbentuk submasif, bercabang, ataupun bercabang dengan bentuk pipih, koloni dtertutupi oleh verrucae, koralit berbentuk cekung ke dalam pada verrucae, koralitnya mungkin tidak memiliki struktur dalam atau memiliki columella yang kurang berkembang, Memiliki dua lingkaran septa yang tidak sama, Coenosteum biasanya ditutupi oleh granules (butiran), Tentakelnya pada umumnya keluar hanya pada malam hari. Dan ciri khusus yang dimiliki Pacillopora ialah: Koloni ditutupi oleh verrucae, Koralit berbentuk cekung ke dalam pada verrucae, Koralitnya mungkin tidak memiliki struktur dalam atau memiliki columella yang kurang berkembang, Koloni umumnya berbentuk submasif, bercabang, ataupun bercabang dengan bentuk pipih, biasanya memiliki dua lingkaran septa yang cenderungan tidak sama, Coenosteum biasanya ditutupi oleh granules (butiran), Tentakel umumnya keluar hanya pada malam hari, Genus Pocillopora merupakan satu-satunya genus pada karang yang memiliki verrucae, Hal tersebut menjadi ciri khas yang membedakannya dengan genus-genus karang yang lain.
Genus Pocillopora merupakan satu-satunya genus pada karang yang memiliki verrucae. Hal tersebut menjadi ciri khas yang membedakannya dengan genus-genus karang yang lain.
Dan berikut ialah taksonomi hidup dari karang jenis ini :
Kingdom : Animalia
Phylum : Coelenterata
Class : Anthozo
Order : Scleractinia
Family : Pocilloporidae
Genus : Pacillopora
(Sorokin, 1993).
4.5.2.3 Favia
Berikut karakteristik bentuk rangka kapur dan juga cirri dari karang bergenus Favia antara lain ialah seperti: Bentuk koloninya umumnya masif, berbentuk flat (rata) atau dome-shaped, koralit sebagian besar monocentric (satu columella dalam satu corallite) dan plocoid, Bentuk masif yaitu bentuk yang memiliki koloni yang keras dan umumnya berbentuk membulat, permukaannya halus dan padat. Ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah (Veron, 1986).
Memperbanyak koralit melalui pembelahan intratentacular, tentakel umumnya keluar hanya pada malam hari, struktur rangka kapur genus Favia mirip dengan genus Favites tapi dapat dibedakan dengan perbedaan tipe koralit karang, Tipe koralit Favites tergolong ceroid, sedangkan tipe koralit Favia tergolong plocoid.
Adapaun Taksonomi hidup dari karang Genus Favia ialah sebagai berikut tersebut dibawah ini:
Kingdom : Animalia
Filum : Coelenterata (Cnidaria)
Kelas : Anthozoa
Ordo : Scleractinia (Madreporaria)
Famili : Faviidae
Genus : Favia
(Veron, 1986).
Selain kita melakukan identifikasi genus karang kita juga dapat memperkirakan penyebab sedikitnya sebaran karang yang terdapat pada tempat pengambilan sampel yang di laksanakan di pantai Teluk Awur, Jepara.
Beberapa faktor yang mungkin bisa menjadi penyebabnya ialah seperti yang kita dapat dari sumber berupa artikel dari situs www.dephut.go.id yaitu seperti yang tersebut di bawah ini:
1. Suhu
Suhu udara yang paling optimal bagi pertumbuhan karang berkisar antara 26 – 300C.
2. Cahaya
Intensitas cahaya sangat mempengaruhi kehidupan karang yaitu pada prosesfotosintesa Zooxanthella yang produknya kemudian disumbangkan ke polip karang.
3. Salinitas
Salinitas mempengaruhi kehidupan karang, karena adanya tekanan osmosispada jaringan hidup. Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar antara 30-35 ‰.
4. Kekeruhan air
Kekeruhan akan menyebabkan terhambatnya intensitas cahaya yang masuk kedalam air, sehingga mengganggu proses fotosintesa zooxanthella.
5. Substrat
Planula karang membutuhkan substrat yang keras dan bersih dari lumpur.Substrat ini berperan sebagai tempat melekatnya planula karang yang kemudian tumbuh menjadi karang dan membentuk komunitas yang kokoh.
6. Pergerakan massa air
Pergerakan massa air antara lain berupa arus dan atau gelombang pentinguntuk transportasi zat hara, larva, bahan sedimen dan oksigen. Selain itu arus dan atau gelombang dapat membersihkan polip karang dan kotoran yang menempel. Itulah sebabnya karang yang hidup di daerah berombak dan atau ber-arus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang tenang dan terlindung.
Sementara hasil yang di dapat saat kita melakukan praktikum, baik itu dari praktikum lapangan maupun dari hasil praktikum laboratorium, yaitu berupa Parameter Fisika yang berisikan penghitungan Salinitas, pH dan juga suhu. Dan yang kami dapatkan ialah Salinitas perairannya sebesar 38‰, tingkat keasaman airnya sebesar 5,58 dan suhu pada saat melakukan praktikum atau sampling yaitu sebesar 250C selain itu substrat yang terdapat di tempat sampling banyak berupa pasir berlumpur.
Apabila kita bandingkan antara hasil yang kami dapat dengan teori yang kami unduh dari situs tersebut diatas, kita dapat melihat salinitas perairannya, pada sumber mengatakan bahwa Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar antara 30-35 ‰, sementara yang kita dapati bahwa salinitas perairan pengambilan sampel sebesar 38‰, terlihat bahwa salinitas perairan dari tempat pengambilan sampel lebih besar disbanding dengan Salinitas optimum untuk kehidupan karang, Substrat yang Nampak terdapat pada tempat sampling juga berupa pasir berlumpur, sementara dikutip dari sumber menyatakan bahwa Planula karang membutuhkan substrat yang keras dan bersih dari lumpur.Substrat ini berperan sebagai tempat melekatnya planula karang yang kemudian tumbuh menjadi karang dan membentuk komunitas yang kokoh.
Selain Salinitas dan substrat yang kurang, adapula suhu udara yang dirasa kurang memenuhi suhu optimal untuk kehidupan karang, yaitu dari tempat kami melakukan sampling terhitung bahwa suhunya hanya sebesar 250C dan dari sumber mengatakan bahwa Suhu udara yang paling optimal bagi pertumbuhan karang berkisar antara 26 – 300C, terlihat perbedaan walaupu hanya kurang dari 10C dari suhu optimal namun hal itu cukup mempengaruhi perkembangan dan kehidupan ekosistem karang. Sementara tingkat keasaman perairannya kami tidak berhasil menemukan berapa pH optimal untuk kehidupan karang, namun pH yang kami dapatkan pada perairan pengambilan sampel yaitu sebesar 5,28.
Sementara proses interaksi antara biota dengan ekosistem terumbu, hubungan atau pengaruh biota terhadap ekosistem terumbu tidak dapat kami ketahui dikarenakan kami tidak menemukan biota pada ekosistem terumbu yang kami uji atau kami lakukan sampling tersebut. Sementara pengaruh karang pada ekosistem terumbu itu sendiri ialah bahwa karang seperti yang kita temui yang bergenus Porites, Pocillopora maupun Favia ialah sebagai penyusun sebuah ekosistem terumbu tersebut.
Ditemui juga beberapa karang yang mati atau dalam istilahnya disebut Death Coral Algae (DCA), dan juga adapula karang yang mengalami pemutihan (coral bleaching), Coral Bleaching biasanya disebabkan oleh perubahan suhu perairan yang cukup drastis dan juga terus menerus dan hal ini mengakibatkan sedikitnya terdapat biota yang terdapat pada ekosistem terumbu karang tersebut. Seperti pada kasus perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%. Hal tersebut di atas membuktikan bahwa banyak hal yang mempengaruhi kelangsungan hidup suatu ekosistem terumbu karang, tidak hanya oleh aktifitas yang dilakukan manusia yang kadang juga merusak ekosistem baik terumbu karang maupun ekosistem perairan laut lainnya.
BAB V
PENUTUP
5.5.1 Kesimpulan
Setelah melakukan praktikum di lapangan kita dapat menarik kesimpulan bahwa keanekaragaman hayati di laut Teluk Awur termasuk cukup rendah. Hal ini mungkin saja terjadi dikarenakan kerusakan yang terjadi di pantai Teluk Awur. kerusakan tersebut baik dikarenakan oleh aktifitas manusia maupun aktifitas alam yang mengakibatkan terumbu karang yang terdapat disana hampir sebagian besar mengalami kematian berupa pemutihan atau bleaching sehingga jarang sekali biota yang ada atau terdapat ekosistem tersebut.
5.5.2 Saran
1. Akan lebih baik jika dilengkapi dengan kamera bawah air agar dapat lebih mudah dalam pengambilan dokumentasi dan pengambilan gambar dalam pengamatan ekosistem baik terumbu maupun ekosistem bawah air lainnya.
2. Sebaiknya pelaksanaan sampling yang berada pada lepas pantai dilakukan pada pagi hari, karena pada saat sudah menjelang siang hari pantai akan mengalami pasang, sehingga cukup sulit melakukan sampling saat itu.
3. Alangkah baiknya bila buku identifikasi biota dan juga karang disediakan lebih banyak lagi. Agar tidak terlalu lama saat melakukan uji identifikasi baik biota maupun karang.
DAFTAR PUSTAKA
Dinar, 2009, Kualitas Air Dalam Budidaya Laut. (http//www.biotalaut99.blogspot.com. Diakses tanggal 31 Mei 2011)
Burke, L., E. Selig, dan M. Spallding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara. Ringkasan Untuk Ind onesia. Terjemahan dari Reefs at Risk in Southeast Asia. Kerjasama ant ara WRI, UNEP, WCMC, ICLARM dan ICRAN. 40 hal.Dahuri,
Dawes CJ. 1981. Marine Botany. John & Sons, Inc. New York, 628 p
Edwards AJ, Clark CD (1996) A review of remote sensing for the assessment and management of tropical coastal resources. Coastal Management 24:1-40
Guilcher Andre. 1988. Coral reef Geomorphology. John Willey & Sons.Chhichester
Hutabarat,L.,Evans, S.M.1984. Pengantar Oceanografi.UI Press. Jakarta
Johan. O. 2003. Beberapa Genus Karang yang Umum di Indonesia. Disampaikan pada acara Training Course: Karakteristik Biologi Karang. PSK-UI dan Yayasan TERANGI: Jakarta.
McCook LJ. 1999. Macroalgae, nutrients and phase shifts on coral reefs: scientific issue and management consequences for the Great Barrier Reef. Coral reef (18):357-367
Nontji ,Anugerah . 1993.Laut Nusantara.Djambatan:Jakarta.
Nybakken,J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Terj. Dari Marine Biology: An Ecological Approach, oleh Eidman, M., Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo, & S.Sukardjo. 1992. dari. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: xv+459 hlm.
Rokhim, 2000. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang, Lokakarya Pengelolaan dan IPTEK Terumbu Karang Indonesia, Jakarta.
Romimohtarto, K. dan Juwana S. 2001. Biologi Laut; Ilmu pengetahuan tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta.
Smith S.V.and R.W.Buddemeir.1992.Global Change and Coral Reef Ecosystems.Ann Rev.Ecol.Syst.23 : 89-118.Inventarisasi Data Dasar Survey SDA Pesisir dan Laut_Sumber Daya Ikan Karang 58 Soede, L.P.and M.V.Erdmann.1988
Suharsono, 1994. Metode penelitian terumbu karang. Pelatihan metode penelitian dan kondisi terumbu karang. Materi Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang: 115 hlm.
Suharsono, 1998. Kesadaran Masyarakat Tentang Terumbu Karang (Kerusakan Karang di Indonesia). P3O-LIPI. Jakarta.
Sukarno, 1982. Mengenal Ekosistem Terumbu Karang dalam Diktat Pelatihan Metodologi Penelitian Ekosistem Terumbu Karang. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.
Sumich, J. L. 1992. An Introduction to The Biologi Marine Life. Fifth Edition. WCB WM.C.Brown Publisher.
Supriharyono, M.S,Dr.Ir, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Sorokin, Y. I., 1993. Coral Reef Ecology. Ecological Studies 102. Springer-Verlag. Berlin. Heidelberg. 465 pp.
Veron. J.E.N. 1986. Coral of Australia and The Indofasific. Angus & Robertos :Australia.
Veron, J.E.N. 1995. Corals in Space and Time. The Biogeography and Evolution of the Scleractinia. UNSW Press.
Wallace D. 1998. Coral reefs and their management. www.cep.unep.org. [13 Maret 2003].
Wells.1956. Coral reefs, in : Treatse on Invertebrate Palaentology. Univ. of Kansas Press, Lawrence
www.dephut.go.id/files/L_SK_09_IV_Set_3_08_0.pdf. Diakses; Selasa, 31 Mei2011, pukul 21.34.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saya pengen tahu kehidupan porites lebih dalam lagi..tapi tidak menemukan...
BalasHapusterimakasih
Betway Casino Site - Lucky Club Live
BalasHapusCasino site: Betway. Casino logo. With a history and background, it offers an luckyclub unmatched experience in betting on sports with all kinds of players. Read more about the